Dokter Indonesia Bersatu: Pelayanan Kesehatan di Indonesia Masih Buruk

Kasus Bayi Debora menjadi contoh kurangnya pelayanan kesehatan di Indonesia.

MajalahKartini.co.id – Kasus bayi Debora yang masih menjadi perbincangan hangat pekan ini sempat mengguncang masyarakat Indonesia. Pasalnya, bayi Debora (4 bulan) dinyatakan meninggal dunia saat sedang dirawat di RS Mitra Keluarga Kalideres. Penyebab kematian Debora tidak dijelaskan secara lanjut, namun diduga kurangnya biaya administrasi pemindahan ke ruang PICU yang menjadi penyebab kematian bayi mungil tersebut. Penanganan gawat darurat sudah dilancarkan RS Mitra Keluarga dalam membantu bayi Debora. Namun nyawa Debora tetap tidak tertolong lantaran kurangnya biaya administrasi.

Baca juga: Keluarga Debora Menolak Pengembalian Biaya Perawatan

Hal tersebut sangat disayangkan dan menjadi bukti bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia masih cukup buruk. Berikut Wawancara khusus dengan salah satu perwakilan Gerakan Moral Dokter Indonesia Bersatu (DIB) Agung Sapta Adi, mengenai pelayanan kesehatan di Indonesia.

Apakah prosedur rumah sakit memang mementingkan administrasi terlebih dahulu bukan perawatan pasien?

Lihat di lapangan, kondisi rumah skait pemerintah, pasien menumpuk, keluarga harus mendaftar, menyelesaikan administrasi, ambil obat di apotek, keterbatasan tempat dan fasilitas tidak memadai serta tenaga kesehatan yang kelelahan. Di sini, masih dibutuhkan RS swasta. Secara umum admnistrasi lebih praktis, penanganan gawat darurat lebih cepat dan kapasitas serta penunjangnya lebih memadai.

Perbedaannya terletak pada anggaran rumah sakit, bagi rumah sakit pemerintah jelas memiliki anggaran yang lebih besar dalam menunjang operasional. Sebaliknya RS swasta menyediakan berbagai fasilitas dengan sumber pembiayaan sendiri tanpa subsidi pemerintah. Bahkan RS swasta harus membeli alat-alat medis dengan pajak barang mewah.

Dalam kasus Debora, pelayanan gawat darurat sudah diberikan secara maksimal tanpa memperhitungkan masalah pembiayaan. Baik dari pemberian obat inhalasi, pemasangan infus, penyedotan lendir dan pemberian obat-obat injeksi serta pemasangan pipa pernapasan. Tidak banyak RS dan dokter UGD yang bisa menjalankan upaya pertolongan seperti ini terkait masalah fasilitas maupun kemampuan.

Bukankah setiap rumah sakit harus sudah bekerjasama dengan BPJS?

Tidak ada aturan yang mewajibkan RS swasta bekerja sama dengan BPJS. Yang ada, RS swasta dapat bekerja sama dengan BPJS. Kemudian BPJS dan pemerintah tidak boleh memaksa karena tanggung jawab atas ketersediaan fasilitas kesehatan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ada pada pemerintah dan pemerintah daerah bukan pada kalangan swasta. Bahkan RS yang melayani BPJS belum mampu memberikan pelayanan yang memadai untuk pasien kritis karena keterbatasan sarana IGD dan Ruang Intensif. RS swasta yang akhirnya menangani kasus emergency bahkan memberikan perawatan intensif pada peserta BPJS tidak mendapatkan hak atas klaim secara adil.

Baca juga: RS Mitra Keluarga Angkat Bicara tentang Bayi Debora

Apakah BPJS seringkali telat melakukan pembayaran sehingga banyak RS swasta tidak ingin melakukan kerjasama?

BPJS tidak menjalankan kewajibannya secara adil, bisa di crosscek bagaimana klaim RS dipenuhi. BPJS bisa membayar terlambat sebagian klaim bahkan tidak membayar klaim dengan berbagai alasan. Padahal pelayanan sudah diberikan sebaik mungkin. Hutang RS menumpuk pada bank, penyedia farmasi serta alat kesehatan yang akan berdampak pada kelangsungan RS. Bagi RS swasta pembayaran klaim akan berpengaruh pada operasional RS serta gaji karyawan.

Bagaimana sistem pelayanan kesehatan di Indonesia?

Secara umum pelayanan kesehatan di Indonesia sangatlah buruk. Pemerintah seharusnya bertanggung jawab malah membiarkan sektor kesehatan berjalan seperti hutan rimba. Saat ini JKN hanya mengendalikan biaya yang murah tapi tidak mempertimbangkan kendali mutu.  Dengan terpaksa penyedia pelayanan kesehatan dan dokter memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran.

Harapan Anda untuk pelayanan kesehatan ke depan?

Diharapkan adanya perubahan mendasar yaitu reformasi sistem kesehatan nasional yang bekeadilan. Pemerintah harus memiliki komitmen politik dan komitmen anggaran dalam pelaksanaan JKN. Tidak mungkin perubahan dilakukan secara instant dan tapa persiapan matang. Implementasi yang terburu buru, tidak terencana dan tanpa tahapan nantinya akan menyisakan masalah baru. Dokter, tenaga kesehatan serta fasilitas kesehatan akan menjadi kambing hitam karena buruknya pelayanan kesehatan.

Bersamaan dengan itu, rakyat akan menjadi korban sistem yang tidak berkeadilan. Terkait penanganan kasus, semoga tidak sekadar melakukan pemadaman api tapi harus menemukan sumber api serta memberikan penangan yang sesuai. Sehingga tidak menimbulkan kerusakan atau masalah baru kedepannya. Tidak sekadar memutuskan siapa yang salah tapi mencari akar masalah dan menentukan prioritas perbaikan pada sistem.  (Cindy/Foto: Intisari)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *