Bandung (BRS) – Dari hari Rabu (9/8) hingga Kamis (10/8), SBM ITB menjadi tuan rumah pelaksanaan Seminar dengan tema “Developing Quality Assurance for the Future, Opportunities and Future Directions of Business and Management Education in Indonesia”.
Sejumlah topik dibahas dalam pertemuan tersebut khususnya terkait permasalahan hanya 4 (empat) Sekolah Bisnis yang terakreditasi International AACSB.
“AACSB sebagai organisasi akreditasi sekolah bisnis terbesar dan bergengsi di dunia, di sini didukung oleh LAMEMBA dan juga AFEBI ingin mendorong kolaborasi untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi atau sekolah bisnis di Indonesia yang berdampak,” ucap Executive Vice President AACSB International Geof Perry di sela-sela seminar, Rabu (9/8/2023).
“Saat ini terdapat 4 sekolah bisnis atau fakultas yang sudah terakreditasi AACSB di Indonesia, diantaranya UGM, SBM ITB, Binus, dan UI,” ungkapnya.
Geof menuturkan, AACSB memiliki tiga tujuan utama, pertama external validation untuk standar global, membuka koneksi internasional (network), framework untuk meningkatkan kualitas sekolah bisnisnya.
“Masing-masing sekolah bisnis memiliki visi dan misinya tersendiri serta identitasnya tersendiri, AACSB tidak akan mengubah itu, hanya fokus pada tiga tujuan utama tersebut. Kemudian di sini selama dua hari akan diceritakan juga bagaimana sekolah-sekolah bisnis ini bisa saling berbagi terkait dengan kualitasnya,” imbuh Geof.
Terkait standar akreditasinya, lanjut Geof, dari sekian banyak sekolah dan universitas di Indonesia baru hanya 4 perguruan tinggi yang sudah terakreditas AACSB.
Menjawab jumlah ini Dr. BM. Purwanto dari Lembaga Akreditasi Mandiri Ekonomi, Manajemen, Bisnis, dan Akuntansi (LAMEMBA), menyampaikan bahwa AACSB itu usianya sudah lebih dari 100 tahun mengakreditasi sekolah bisnis, serta memiliki standard yang sangat tinggi.
“Penilaian yang kuat dan tinggi tersebut terdapat pada jaminan mutu pembelajaran, itu harus terukur dan detail, dan mereka memperhatikan juga kualifikasi para dosen, dosennya harus memiliki pendidikan yang tuntas hingga S3,” kata Purwanto.
“Dosen juga tidak hanya cukup sampai S3, tapi juga mempunyai praktik professional dan juga melakukan kajian-kajian ilmiah pada bidang yang diajarkan. Dua hal tersebut menjadi persyaratan yang very demanding, sangat sulit. Tetapi bukan berarti Indonesia tidak bisa, Indonesia itu negara yang sangat besar, dan kita sudah mulai dipertimbangkan di banyak hal, tetapi pendidikan inikan yang menjadi salah satu strategis,” ungkap Purwanto.
Purwanto menambahkan, untuk mendapatkan tugas dari pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan bisnis, manajemen, akuntansi, dan ekonomi di Indonesia, maka harus dikolaborasikan dengan AACSB.
“Sehingga kemudian standar LAMEMBA itu juga sudah cukup, kita memiliki tingkatan akreditasi Baik, Baik Sekali, dan Unggul. Nah yang Unggul ini nanti kita lihat lagi lebih spesifik yang bisa kita dampingi untuk mendapat akreditasi AACSB,” urai Purwanto.
“Tapi itu membutuhkan waktu, dan masalah di kita itu adalah rasa kurang percaya diri. Sebetulnya kebanyakan sekolah bisnis good enough for AACSB tapi tidak memiliki rasa kepercayaan diri. Semakin banyak sekolah di Indonesia yang terakreditasi oleh lembaga internasional, semakin berpeluang membuka kolaborasi mitra global,” imbuhnya.
“Mengapa masih sulit mendapatkan akreditasi AACSB, High Quality, karena kualitas standarnya itu tinggi. Lalu apa keuntungannya dengan karakteristik dari sekolah-sekolah bisnis di Indonesia? Nah kita ini berpuluh tahun dalam pikiran dosen adalah mengajar, mengajar banyak kelas, mahasiswanya ratusan, harus menguji, harus memeriksa pekerjaan macam-macam sehingga dia lupa bahwa apa yang mereka ajarkan itu harus dilakukan,” tutur Purwanto.
Sementara itu, Abdul Rahman Kadir dari Asosiasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Indonesia (AFEBI) mengatakan, AFEBI mendorong seluruh akreditasi unggul untuk masuk ke standar AACSB.
“Kami berharap sekolah bisnis ITB bersama AFEBI untuk membuat standarisasi-standarisasi yang meningkat. Itulah mengapa hari ini sebenarnya sudah mulai, bahwa Indonesia sudah berkomitmen meningkatkan kualitas pendidikan bisnis dengan melalui pengakuan-pengakuan internasional,” kata Abdul Rahman.
“Tidak hanya setelah akreditasi langsung selesai, tapi terus mempertahankan kualitasnya. Kita terus meningkatkan standar sekolah, terutama pada kapasitas individu. Jadi harus benar-benar profesional sebagai dosen, mereka harus menjadi peneliti, sehingga bahan-bahan penelitian tersebut bisa diajarkan kepada mahasiswa,” paparnya.
Selain akreditasi, dampak konkritnya dirasakan sekolah bisnis jika sudah mendapatkan akreditasi AACSB
Prof. Tjandra Anggraeni, Plt. Wakil Dekan Akademik SBM ITB mengatakan, banyak hal yang dirasakan oleh SBM ITB terkait dengan pengakreditasian ini.
Menurutnya ada dua hal yang mungkin paling terlihat, pertama sebagai anggota AACSB pertemuan-pertemuan internasional jadi sering dilakukan, sehingga terbuka ruang untuk diskusi.
“Jadi meskipun sudah mempunyai kurikulum, sudah memiliki standar, tapi seiring berjalannya waktu itu kan pasti ada perubahan, ada hal baru yang perlu dikembangkan dan itu ada di diskusi networking ini. Kedua karena SBM ITB ini kan ada kelas internasionalnya, jadi yang double degree internasional tentunya SBM ITB ini memerlukan sekali kolaborasi universitas luar, ketika sudah terakreditasi ini yang namanya diskusi dan tawaran itu menjadi lebih ada, kita bisa lebih mudah untuk duduk bersama dengan universitas luar bahkan dari luar negeri pun jadi ingin duduk bersama dengan SBM ITB, itu dampak yang jelas,” papar Prof. Tjandra.
Professor Aurik Gustomo, PErwakilan Narasumber yang juga merupakan Dosen SBM ITB menyampaikan terkait benefit perguruan tinggi mendapatkan akreditasi international AACSB.
“Jadi AACSB itu SBM ITB mendaftar pada tahun 2014, 10 tahun setelah SBM berdiri, saya kira di Indonesia, tidak banyak yang memiliki percaya diri, ketika 10 tahun berdiri, kemudian mendaftar akreditasi di salah satu akreditasi internasional yang termasuk dalam kategori “triple crown”, salah satunya adalah AACSB ini. Kenapa baru 10 tahun kita percaya diri untuk mendaftar? Karena kita ingin mengakselerasi, mendapatkan arah untuk melakukan perbaikan di sistem pembelajaran yang ada di SBM ITB,” ungkapnya.
“Jadi standar-standar yang ada, kita memiliki arah untuk mencapai semua standar-standar yang ada tadi. Misalnya, standar 1 berbicara tentang ke arah mana SBM mau dibawa, Prof. Geof tadi mengatakan, kita harus kemudian AACSB harus merumuskan misi yang unik (menjadi ciri khas), misalnya ya di ITB keunikannya mau jadi seperti apa Business School-nya itu? Karena kita dari lingkungan teknologi, maka SBM ITB harus masuk dalam satu misi untuk menjadikan business professional dengan basis technopreuneruship misalnya, karena kita ada di ITB. Itu yang menjadi arahan dari AACSB supaya kita mengikuti standar-standar yang ada,” ungkapnya lagi.
“Di standar 9 ini, goalsnya adalah kita berada kita berada dari 17 elemen dari sustainable development goal. AACSB tidak berbicara impact kepada mahasiswa, tapi juga impact kepada society, bagaimana kita memberikan dampak buat masyarakat, dan manfaatnya itu sifatnya berkelanjutan yang terukur dan memberikan satu manfaat kepada masyarakat, sehingga mengurangi kemiskinan yang ada di wilayah yang menjadi binaan kita. Saya kira itu tambahannya, jadi prinsipnya dengan ikut AACSB kita mengakselerasi mutu dari pembelajaran yang ada di SBMITB,” imbuhnya.