Kab. Bandung Barat (BRS) – Desakan aktivitas tambang kembali menjadi sorotan dalam diskusi lingkungan pada gelaran Indonesia Climbing Festival 2025 di Tebing Citatah 125. Kawasan karst yang menjadi titik lahirnya panjat tebing Indonesia itu disebut semakin terancam, sementara upaya perlindungan dinilai tidak boleh berhenti hanya pada perayaan dan nostalgia sejarah.
Di sepanjang jalur Padalarang–Citatah, tebing-tebing yang dulu menjulang mulai menyusut. Bagi masyarakat, komunitas panjat, hingga pemerhati lingkungan, kerusakan karst bukan hanya soal hilangnya objek wisata alam, tetapi hilangnya sistem ekologis penting yang menyimpan cadangan air dan menopang kehidupan sekitar.
Hasan Kholilurrachman dari National Geographic Indonesia menyebut Citatah 125 telah memasuki fase antroposen yang ditandai dominasi aktivitas manusia terhadap lanskap bumi. “Bukit-bukit karst di sekitar Citatah perlahan hilang. Kalau tidak dijaga, warisan geologi dan ekologi ini bisa lenyap,” ujarnya dalam diskusi, Sabtu (15/11/2025).
Di tengah kekhawatiran itu, festival yang berlangsung dua hari ini menjadi ruang konsolidasi bagi para pemanjat dari berbagai daerah. Beragam pihak mendorong penguatan gerakan komunitas untuk melindungi tebing yang menjadi saksi perjalanan lebih dari setengah abad panjat tebing Indonesia.
Tokoh panjat nasional, Mamay S. Salim, mengingatkan bahwa Citatah 125 bukan sekadar lokasi latihan.
“Ini ruang budaya, tempat kami dibentuk. Banyak jalur legendaris dimulai dari sini,” kata Mamay yang juga menjadi Senior Advisor EIGER.
Mamay menambahkan bahwa menjaga Citatah adalah menjaga fondasi ekosistem panjat tebing nasional.
Sebagai bentuk dukungan terhadap komunitas, EIGER Adventure menghadirkan fasilitas dasar seperti toilet, penerangan, area tenda, akses air bersih, papan informasi, hingga sebuah Climbers Hall kini tersedia di kawasan ini. Pembangunan fasilitas tersebut diharapkan menjadi modal untuk memperkuat aktivitas panjat sekaligus menjaga keberlanjutan kawasan.
Namun para pegiat sepakat bahwa menjaga Citatah 125 tak cukup hanya mengandalkan pembangunan fasilitas. Dibutuhkan gerakan lebih luas untuk menahan laju eksploitasi karst, memperluas edukasi lingkungan, dan meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas tambang.
Ketua FPTI Jawa Barat, Djati Pranoto, menyebut festival ini bukan hanya kompetisi, tetapi ajang mempersatukan energi komunitas untuk masa depan Citatah.
“Ini ruang bertemu, bertukar pengetahuan, dan menyatukan langkah agar panjat tebing Indonesia tumbuh aman dan berkelanjutan,” kata Djati.
Dengan meningkatnya kesadaran publik dan semakin kuatnya barisan komunitas, para pemerhati berharap Citatah 125 dapat menjadi contoh kawasan olahraga alam yang dikelola dengan perspektif konservasi. Bukan hanya untuk para pemanjat hari ini, tetapi untuk generasi yang akan datang.









