Bandung (BRS) – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi musim kemarau tahun 2024 di sebagian besar wilayah Indonesia, mundur dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Adapun puncak musim kemarau 2024 diprediksi akan terjadi pada bulan Juli dan Agustus 2024.
Terkait hal ini, Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat (Jabar) Bey Machmudin, saat mengunjungi dan berdialog dengan para petani di Desa Tegal Panjang Kecamatan Cariu Kabupaten Bogor, Rabu (31/7/2024) mengemukakan, bahwa Pemprov Jabar akan mengambil langkah strategis dalam mengantisipasi kemarau panjang.
Dalam kunjungam kerja (kunker) tersebut, Bey menerima masukan serta aspirasi para petani di lokasi tersebut.
Dalam siaran persnya disebutkan bahwa kunker itu, Bey juga meninjau situasi di lapangan guna mencari langkah antisipasi adanya ancaman kemarau panjang pada Tahun 2024 ini. Para petani di daerah tersebut pada tahun lalu terdampak kekeringan panjang yang menyebabkan pergeseran musim tanam.
“Tahun ini panen kedua, tapi musim tanamnya baru satu kali, terakhir itu akhir tahun lalu baru panen Bulan Maret, ini yang kedua. Biasanya mereka akan menanam lagi akhir tahun, atau awal tahun,” ungkap Bey.
Diketahui, hasil produktifitas petani sebanyak 5,6 ton gabah kering giling 6 ton dengan harga jual Rp6.000 per kilogram, para petani berencana mempercepat musim tanam pada Agustus 2024 ini. Rencana ini ditopang topografi kawasan persawahan di sana yang dialiri Sungai Cihoe.
“Dengan sistem pompanisasi yang ada, mereka akan menanam lagi Agustus dengan bantuan pompa. Biasanya, mereka akan menyewa pompa, tapi saya akan upayakan mereka mendapat bantuan pompa dari Kementerian Pertanian,” jelasnya.
Namun Bey menemukan temuan menarik karena para petani menggunakan pompa yang dioperasikan dengan tabung gas elpiji 3 kilogram. Dengan memakai gas elpiji, satu hari yang biasanya menggunakan 10 liter bensin, petani harus mengalokasikan bajet sebesar Rp100.000-Rp120.000.
“Kalau pakai gas melon itu hanya Rp 25.000, jadi ada penghematan sekitar 70%, tapi saya juga melaporkan ke Kementan kalau mereka membeli pupuk sampai Rp160.000,” ungkap Bey.
Menurutnya, pihaknya mesti mendapatkan laporan langsung dari para petani karena ancaman kemarau panjang harus diwaspadai. Dialognya dengan para petani dinilai Bey memberikan informasi berharga, terlebih para petani ini menggarap sawah milik mereka.
Bey memastikan temuan di lapangan dilaporkan langsung pada Irjen Kementerian Pertanian baik urusan pupuk yang masih mahal dan bantuan pompanisasi. Menurutnya petani di Tegal Panjang bersedia mendapatkan bantuan pompanisasi, meski masih menggunakan tenaga bensin.
Soal bahan bakar bensin ini para petani mengeluhkan jauh dan sulitnya mendapatkan bensin.
“Mereka kerepotan beli bensin, harus pake jerigen, kadang-kadang di SPBU ditolak, kalau pakai elpiji itu praktis karena tinggal beli di warung, polusi juga berkurang, ini jadi temuan di lapangan, sudah saya laporkan ke Irjen Kementan,” pungkasnya.