Mengapa Orang Indonesia Punya Tubuh Pendek?

JAKARTA, KOMPAS.com –- Sebagian orang mungkin merasa tak beruntung terlahir di Indonesia. Secara fisik, orang Indonesia yang termasuk ras Mongoloid memiliki tubuh lebih pendek dari ras lainnya. Ras Kaukasoid, misalnya, dikenal dengan ciri fisik yang lebih besar.

Namun, benarkah demikian? Apakah ras memengaruhi kondisi fisik seseorang?

Peneliti Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi Pangan dan Pertanian Asian Tenggara Institut Pertanian Bogor, Prof. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN, mengatakan, ras tidak berpengaruh kepada pertumbuhan fisik manusia. Hal itu lebih dipengaruhi dengan asupan makanan dan minuman selama pertumbuhan anak.

(Baca juga: Lebih Bergizi daripada Susu, Telur Bisa Jadi Makanan Pendamping ASI)

Mengutip data dari Kementerian Kesehatan RI, Dodik berkata bahwa pada usia 0-6 bulan, pertumbuhan anak Indonesia setara dengan pertumbuhan anak ras Kaukasoid yang umumnya tersebar di Eropa, Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru.

Kondisi itu berlaku tak hanya bagi masyarakat Indonesia dengan pendapatan tinggi, masyarakat berpendapat rendah pun punya nilai pertumbuhan yang sama dari asupan ASI.

“Pada saat 0-6 bulan, saat anak Indonesia dengan ASI saja, maka pertumbuhannya sama dengan pertumbuhan anak bule, ras kaukasoid. ASI itu cukup dan genetiknya bagus,” kata Dodik dalam diskusi Mari Menjadi Ibu Melek Nutrisi Demi Wujudkan Generasi Emas 2045 di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (19/9/2017).

Lewat dari usia 6 bulan, pertumbuhan anak Indonesia menurun. Itu disebabkan oleh kualitas makan pendamping ASI (MPASI). Dodik bercerita, tak semua orang tua memahami MPASI. Terkadang MPASI diperlakukan sebagai makanan pengganti ASI.

(Baca juga: Susu Kental Manis Tidak Cocok Dikonsumsi oleh Anak, Ini Sebabnya)

Selain itu, makanan yang diberikan berupa makanan olahan kemasan. Padahal, makanan seperti itu tak mencukupi kebutuhan gizi balita yang jauh lebih kompleks. Kebutuhan energi per kilogram berat badan anak usia 0-3 tahun tiga kali lebih besar dari seseorang yang berusia 21-50 tahun. Hal serupa juga berlaku terhadap kebutuhan protein.

“Ibu-ibu salah konsepsi. Misalnya MPASI pakai roti yang dijadikan bubur atau bubur makanan kemasan. Makanan dari rumah harus tetap ada. Jadi, gizi harus lengkap. Gizi itu diperlukan (dan) tidak bisa dirapel,” kata Dodik.

Dia mengatakan, pengenalan buah dan sayur sejak dini menjadi penting dilakukan. Kedua makanan itu punya gizi yang cukup lengkap bagi tubuh. Sayangnya, makan dengan kandungan gula tinggi lebih digemari anak. Jika terpapar lebih dulu, anak akan enggan mengonsumsi buah dan sayur.

“Ada contoh petani di Afrika. Petani tebu di sana kasih makan anaknya gula tebu. Gemuk tapi sebetulnya kurang gizi. Kalau gula kan hanya gula kandungannya. Kalau buah kan lengkap,” kata Dodik.

PenulisLutfy Mairizal Putra
EditorShierine Wangsa Wibawa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *