LOGISTIK HALAL, MATA RANTAI TERLEMAH DALAM EKONOMI HALAL

Bandung (BRS) – Sejauh ini standar halal belum diterapkan secara menyeluruh dalam proses rantai pasok produk di Indonesia. Para pengusaha hanya fokus pada pencapaian kehalalan produk, tetapi belum pada proses rantai pasok, sejak awal pembuatan hingga penjualan produk di ritel.

Hal ini ditegaskan dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) Institut Teknologi Bandung (ITB) Togar M. Simatupang, yang juga Guru Besar bidang Operasi dan Rantai Pasokan, dalam Zoominar “Halal Logistics in Indonesia, Awakening a Giant Potential,” Kamis (15/7/2021) lalu, yang merupakan kerjasama SBM ITB dengan The Chartered Institute of Logistics & Transport (CILT) Indonesia dan CILT Malaysia.

“Indonesia masih kalah dalam penerapan standar rantai pasok halal dibandingkan negara tetangga Malaysia. Malaysia sudah memperhatikan standar halal secara menyeluruh, mulai dari kegiatan di perkebunan, pembuatan, penyimpanan hingga penjualan produk di ritel,” tegas Togar.

“Di Indonesia, pengusaha baru fokus membuat produk halal dengan memperhatikan bahan baku produk tersebut. Misalnya, perusahaan kosmetik yang tidak menggunakan alkohol sebagai bahan baku pembuatan produknya,” tambah Togar.

Menurutnya, standar rantai pasok halal juga baru tercapai pada proses penyimpanan produk. Gudang dijaga agar bersih dan penempatan produk halal diberi jarak dari produk yang tidak halal.

“Selain proses penyimpanan, proses pembuatan produk perlu diperhatikan agar memenuhi standar rantai pasok halal. Mulai dari lokasi pembuatan produk, misalnya di perkebunan, bahan baku harus menggunakan bibit dan pupuk yang tidak mengandung unsur haram. Lokasi perkebunan juga perlu berjauhan dengan peternakan hewan yang dianggap haram,” ungkap Togar.

“Lalu pada proses pengangkutan produk pun perlu diperhatikan standar kehalalannya. Tempat penyimpanan produk di kendaraan pengangkut jangan sampai terkontaminasi dengan unsur yang tidak halal,” katanya lagi.

Produk halal, jata Togar, yang sudah sampai di ritel juga perlu diawasi penempatannya. Jangan sampai diletakkan bercampur dengan produk tidak halal.

“Memastikan rantai pasok yang halal bisa lindungi konsumen. Menjamin pengguna agar terima produk halal,” kata Togar.

Di sisi lain, konsumen juga perlu mendukung agar produsen memproduksi produk yang halal, dengan cara bersedia membayar lebih untuk menerima produk halal.

“Hal yang masih terbelakang yakni ketersediaan pelanggan membayar logistik halal. Kita ingin halal, tetapi tidak bersedia bayar lebih,” ucap Togar.

Rantai pasok halal selanjutnya bisa diintegrasikan dengan sistem pembayaran halal, seperti melalui bank syariah dan fintech syariah.

Selain Professor Togar Simatupang dari SBM ITB, zoominar ini juga dihadiri oleh para praktisi rantai pasok halal dari Malaysia dan Indonesia, seperti Dr. Mastuki HS Kepala BPJPH Kementerian Agama RI, Iman Gandi President CILT Indonesia, Ts. Hj. Ramli Amir President CILT Malaysia, Har Man ahmad Trade Commisioner, Embassy of Malaysia, dan Dr. Harlina Suzana dari Centre for Halal, University Teknology MARA.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *